Cara Branding Brand Baru Berdasarkan Pandangan Para Pakar

Sad business team is sitting at table, covering his face with his hand and talking on cell phone. On desk is laptop, tablet computer, Stress.

Membangun branding untuk brand baru bukan sekadar membuat logo atau slogan, melainkan membentuk persepsi dan makna di benak konsumen, sebagaimana ditegaskan oleh Philip Kotler (Marketing Management, 2016) bahwa “Branding is not what you say about yourself, but what people say about you.” Branding yang kuat dimulai dari positioning yang jelas — siapa target pasar, nilai unik apa yang ditawarkan, dan masalah apa yang ingin diselesaikan. Tahap ini merefleksikan konsep klasik Kotler tentang STP (Segmentation, Targeting, Positioning) sebagai fondasi strategi merek.

Selanjutnya, David A. Aaker dalam bukunya Building Strong Brands (1996) menegaskan bahwa merek adalah identitas, simbol kepercayaan, dan janji kualitas. Karena itu, pengembangan brand identity harus mencakup elemen visual (logo, warna, tipografi) serta elemen emosional (nilai, cerita, dan kepribadian merek). Aaker menekankan bahwa “Strong brands create emotional and self-expressive benefits beyond functional value.”

Kevin Lane Keller melalui Customer-Based Brand Equity (CBBE) Model menambahkan bahwa keberhasilan branding terletak pada kemampuan membangun hubungan psikologis dengan konsumen. Prosesnya bertahap: mulai dari brand awareness, brand meaning, brand response, hingga brand resonance — di mana pelanggan merasa memiliki ikatan dan kebanggaan terhadap merek.

Sementara itu, Seth Godin dalam This Is Marketing (2018) menyoroti bahwa branding modern bukan lagi tentang persuasi massal, melainkan membangun komunitas dan makna bersama. Menurutnya, “People don’t buy goods and services. They buy relations, stories, and magic.” Dalam konteks brand baru, ini berarti penting untuk memiliki purpose yang relevan dan konsisten di semua kanal komunikasi, agar konsumen tidak sekadar membeli produk, tetapi juga ikut dalam cerita dan visi merek.

Akhirnya, seperti diingatkan Simon Sinek lewat konsep “Start with Why”, branding yang bertahan lama dimulai bukan dari what you sell, melainkan why you exist. Brand baru perlu mengekspresikan nilai dan keyakinan yang lebih dalam agar menciptakan koneksi emosional dan loyalitas jangka panjang.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja